• Redaksi
  • Kode Etik
Media Harapan
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video
No Result
View All Result
Media Harapan
No Result
View All Result
Home Citizen

​Bahaya laten White Supremacy 

by Media Harapan
10 March 2017 00:54
in Citizen, Jurnalisme Warga, Opini
0

Oleh: Imam Shamsi Ali

Sejarah kelam dunia kita tidak bisa dilepaskan dari tendensi “rasisme” yang ada pada sebagian kalangan manusia. Sejarah pertarungan antara kebenaran (Al-haq) dan kebatilan (Al-bathil) juga diawali salah satu oleh tendensi rasisme ini. Iblis menolak memuliakan Adam karena alasannya “dia lebih baik” (khaer) dari Adam. Dan jelas alasan yang dipakai adalah alasan material. Lebih tegasnya Iblis beralasan bahwa penciptaannya lebih baik karena tercipta dari “api” (naar). Sementara Adam tercipta dari “tanah” (thiin). 

Perasaan superioritas sebagian manusia karena “material basis” (dasar material), seperti warna kulit, ras, etnis, dan seterusnya, telah menjadi penyebab banyak kesengsaraan (miseries) dan kerusakan (destruction) dalam kehidupan manusia.

Jika kita kaji lebih jauh, perang dunia pertama maupun kedua disebabkan terutama karena adanya tendensi superioritas kulit putih Eropa saat itu di bawah komando Hitler. Bangsa Yahudi dianggap imigran, berpenetrasi ke dalam kehidupan mereka, dan bahkan menjadi pengusaha-pengusaha sukses, ilmuan, dan lain-lain.

Puncak dari semua itu adalah pembantaian bangsa Yahudi di seluruh daratan Eropa. Mereka dikirim ke kamp-kamp, ditorture, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka sejatinya ingin dibumi hanguskan sehingga sejarah mereka terhapus di atas dunia ini.

Dari sekian negara-negara Eropa saat itu, hanya Albania yang sebaliknya memberikan perlindungan penuh kepada warga Yahudi. Dan Albania adalah negara mayoritas Muslim saat itu. Mereka melindungi warga Yahudi dengan satu alasan: “karena itulah yang seharusnya kami lakukan”. 

Mungkin mereka tidak memiliki ilmu Islam yang mumpuni saat itu sehingga mereka tidak dengan tegas mengatakan: “inilah ajaran Islam yang kami yakini”. Tapi sikap mereka yang melindungi mereka yang terzholimi dan termarjinalkan itu adalah ekspresi iman yang ada dalam dada mereka.

Sejarah panjang penjajahan bangsa Eropa di berbagai belahan dunia, khususnya Asia dan Afrika, juga sejatinya tidak lepas dari tendensi “superioritas” ras ini. Alasan ekonomi dan kekuasaan politik itu memang menjadi pendorong. Tapi nampaknya karena perasaan lebih sebagai ras inilah yang menjadi dasar utama. 

Penjajah Eropa di negara-negara belahan Afrika bahkan membawa budak-budak mereka ke bumi Amerika. Mereka dipaksa melakukan kerja (kerja paksa) dan dirampas hak-hak kemerdekaan mereka. Tidak sedikit juga di antara mereka datang dari Afrika sebagai penganut agama Islam. Tapi dalam perjalanan hidup mereka sebagai budak mereka dipaksa untuk meninggalkan keyakinan dan jati diri mereka.

Dalam perjalanan sejarahnya Amerika tidak “immune” (terbebas) dari tendensi ini. Perjuangan warga berkulit warna lain selain putih, yang biasa dikenal dengan “people of color” selalu saja mendapat perlakukan yang tidak sejajar dengan sesama warga lainnya (baca kulit putih). 

Walaupu sejatinya Konstitusi Amerika jelas dan tegas menjamin equalitas ini, justice for all, tapi tendensi superioritas inilah yang menjadi penghalang utama dari implementasi idealisme konstitusi. Di jalanan, di mal-mal, di perkebunan, bank-bank, bahkan di perkantoran-perkantoran masih saja terjadi diskriminasi karena SARA.

Diskriminasi ini bahkan tidak jarang terasa sistemik, sehingga terjadi pilih kasih dalam pembangunan di antara kantong-kantong warga putih dan warna (color). Hal ini masih terlihat di kota Manhattan, New York, di mana pembangunan kota nampak tidak imbang antara downtown, midtown, dan uptown. Downtown dan midtown begitu mewah dengan pusat-pusat bisnis dan apartemen mewah. Tapi uptown yang kebetulan umumnya dihuni oleh Afro Amerika dan Hispanic nampak kumuh.

Perjuangan warga kulit hitam di era tahun 60-an barangkali adalah saksi hidup dari tendensi rasisme di Amerika ini. Di bawah komando orang-orang luar biasa seperti Martin Luther Jr, Malcom X, dan lain-lain Afro Amerika bangkit melakukan perlawanan dengan jalan damai (non violent). 

Setelah proses panjang dan berliku, perjuangan itu membuahkan hasil. Lebih 8 tahun lalu untuk pertama kalinya seorang Afro Amerika terpilih menjadi presiden Amerika. Barack Obama dianggap sebagai kristalisasi dari civil rights movement atau perjuangan mendapatkan hak-hak sipil.

White Supremacy 

Kelompok radikal teroris kulit putih di dunia barat bukan sesuatu yang baru. Perjalanan Eropa sudah digeluti oleh tendensi perasaan lebih ini (superioritas). Perasaan di atas manusia lainnya berdasr ras, etnik, suku dan warna kulit begitu dalam sehingga ada kecenderungan untuk menjadikan orang berkulit warna (people of color) tetap berada di posisi tertindas dan ditindis.

Akan tetapi karena world view yang semakin amburadul, tendensi materialistik dan foya-foya (hedonistik) semakin menggeluti, kehidupan tidak lagi dikawal oleh fondasi moral, orang-orang barat kulit putih semakin menjatuhkan diri ke dalam lobang kehancurannya sendiri. Salah satunya mereka semakin tidak peduli dengan kehidupan keluarga, dan memiliki anak seolah beban hidup yang harus dihindari.

Akibatnya populasi mereka menjadi terminimalisir, dan pupolasi non white semakin bertambah. Apalagi didorong oleh membesarnya pendatang dari negara-negara konflik yang juga tidak lepas dari keterlibatan negara-negara barat sendiri. Pengungsi dan imigran dari Afrika, Timur Tengah dan Asia semakin bertambah.

Pada akhirnya memang terjadi “shifting demografi” dalam masyarakat barat. Amerika tentunya tidak terlepas dari fenomena ini. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, sekaligus kebencian kepada warga non white. 

Salah satu bentuk kebencian itu adalah tumbuhnya kelompok radikal teroris warga kulit putih yang lebih dikenal dengan “white supremacy”. 

Di Amerika Serikat kelompok white supremacy ini telah lama menteror kelompok minoritas warga non white. Mereka dalam melakukan gerakannya tidak canggung menggunakan cara-cara teror dan kekerasan. 

Dalam beberapa dekade terakhir pergerakan white supremacy ini sempat tertekan, baik secara legal maupun secara moral. Secara legal karena yang memimpin Amerika adalah mereka yang sadar hukum dan konstitusi. Maka kelompok yang melakukan kekerasan, termasuk white supremacy ini akan menghadapi hukum yang tegas. 

Secara moral karena dalam dekade terakhir tumbuh kesadaran pluralitas yang sangat tinggi di kawasan masyarajat Amerika, khususnya di perkotaan. Amerika mampu membentuk kesadaran kolektif tentang “pluralistic society” yang setara di mata hukum. 

Masyarakat warna kemudian mendapat tempat dalam tatanan kehidupan publik. Afro Amerikan, Hispanic, Asian, dan semua dengan ragam agama dan kultur menemukan tempatnya dalam kehidupan publik Amerika. Minoritas kini menjadi pejabat, kongress, walikota, gubernur, dan lain-lain. 

Puncak dari semua itu adalah ketika Amerika mencatat sejarah dengan memilih seorang Afro Amerika sebagai presidennya.

Perubahan tatanan kehidupan publik di dunia barat itu dari hari ke hari semakin memperbesar kemarahan dan dendam warga kulit putih. Maka di mana-mana terjadi reaks negatif terhadap trend pertumbuhan imigrasi baru. Para politisi ekstrim di berbagai negara, termasuk Eropa, mempergunakan momentum tersebut. Maka terjadilah Brexit di Inggris sebagia satu misal.

Di Amerika Serikat sendiri terjadi hal yang sama, bahkan lebih buruk. Politisi-politisi ektrim Republikan mempergunakan sentimen kemarahan warga putih ini untuk membalas dendam kepada partai Demokrat, khususnya kepada Presiden Barack Obama. Momentum ini pula yang dipakai oleh sebagian, yang sejatinya non politisi tapi memiliki dendam dan kemarahan yang sama, seperti Donald Trump.

Pendukung Donald Trump adalah mereka yang memang ada ketakutan dengan “demographic shifting” dan marah dengan realita bahwa mereka semakin tersisihkan. Tentu yang paling dominan dalam hal ini adalah mereka yang memang secara sejarah memiliki mentalitas dendam kepada masyarakat berkulit warna (people of color). Mereka inilah yang dikenal dengan “white supremacists”. 

Di sini lain tentunya perubahan ini juga mengancam dominasi kelompok dengan agama tertentu. Maka bagian dari white supremacy itu timbul kelompok radikal teroris atas dasar agama. Atau lebih tepatnya kelompok yang mengatas namakan agama Kristen. Mereka inilah yang dikenal dengan KKK.

Bahkan pada tataran yang masih rasional ada kelompok-kelompok tertentu, dan masih bagian dari mainstream masyarakat Amerika juga mendukung Donald Trump ini berdasarkan agama. 

Perkembangan agama-agama non Kristiani di Amerika, khususnya Islam dan Budhisme, menjadikan kelompok mayoritas Kristen keras dan radikal khawatir. Maka janji kampanye Trump untuk melawan dan menekan Islam ditangkap oleh mereka. Dan mereka pun menjadi pendukung Donald Trump dalam pemilu lalu. 

Kelompok terakhir yang saya sebutkan ini adalah kelompok Kristen Evangelicals, yang secara kolektif terang-terangan mendukung Donald Trump.

Intinya adalah bahwa pemerintahan Donald Trump, diakui atau tidak, jujur atau tidak, terbuka atau tertutup, memang didominasi oleh kelompok ekstrim kulit putih atau white supremacy. Dan ini dengan sendirinya mwnjadi ancaman tersendiri bagi bangsa dan negara ini.

Hingga detik ini saya yakin Amerika tidak pernah dan tidak akan besar tanpa menjunjung tinggi Konstitusinya dan nilai-nilai universal yang dibanggakan. Amerika tidak akan besar, kuat dan indah kecuali jika wajah-wajah masyarakat pluralistik itu teranyam baik dan rapih dalam pelukan kesatuan Amerika. 

Itu the United States of America yang saya kenal. 

New York, 9 Maret 2017

Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali

Comments

comments

Previous Post

KPK Tangkap Penerima Dana e-KTP dan Nyanyian Gamawan Fauzi

Next Post

Jokowi Lantik Nurhajizah Sebagai Wagub Sumatera Utara

Media Harapan

Next Post

Jokowi Lantik Nurhajizah Sebagai Wagub Sumatera Utara

BERITA POPULER

Cara memperbaiki printer mp287 dengan kode error e03

Cara memperbaiki printer mp287 dengan kode error e03

20 April 2023 09:33

​Bahaya laten White Supremacy 

10 March 2017 00:54
Orang Sholeh Yang Diam Menyaksikan Kemungkaran Maka Ia Terlaknat

Orang Sholeh Yang Diam Menyaksikan Kemungkaran Maka Ia Terlaknat

29 April 2019 08:25
10 Alat Bantu Fotografi yang Wajib Diketahui Pemula

10 Alat Bantu Fotografi yang Wajib Diketahui Pemula

28 August 2023 14:39
Koperasi MANTAP Resmi Diluncurkan di Ambon, Siap Menjadi Pilar Ekonomi Rakyat

Koperasi MANTAP Resmi Diluncurkan di Ambon, Siap Menjadi Pilar Ekonomi Rakyat

18 January 2025 11:26
Aditya Wardana Masuk Penjara Soal Cek Kosong

Aditya Wardana Masuk Penjara Soal Cek Kosong

15 August 2017 05:03

BERITA TERBARU

Melestarikan Warisan Sejarah: Upaya Menjaga Cagar Budaya di Kabupaten Gowa

Melestarikan Warisan Sejarah: Upaya Menjaga Cagar Budaya di Kabupaten Gowa

25 November 2025 19:17
Berdayakan Kader, TPPKK Tanah Datar Gelar Pelatihan Menjahit Baju

Berdayakan Kader, TPPKK Tanah Datar Gelar Pelatihan Menjahit Baju

23 November 2025 07:17
Lima Tahun Tanpa Pembinaan, Ustaz Awi Hadir di Pedalaman Tanpa Listrik dan Jaringan

Lima Tahun Tanpa Pembinaan, Ustaz Awi Hadir di Pedalaman Tanpa Listrik dan Jaringan

19 November 2025 19:41
Indonesia Dinilai Konsisten Dukung Solusi Dua Negara untuk Palestina

Gaza Dilanda Musim Dingin Ekstrem, Sukamta Desak Israel Buka Akses Bantuan Kemanusiaan

19 November 2025 19:29

Follow Us

Media Harapan merupakan web portal berita berbasiskan citizen jurnalism yang menyajikan berbagai peristiwa yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Semua materi dalam situs mediaharapan.com boleh di copy guna keperluan pengembangan pengetahuan dan wawasan masyarakat khususnya peningkatan inteligensi pemuda-pemudi Indonesia dan referensi non komersil dengan mencantumkan mediaharapan.com sebagai sumbernya. Semua masyarakat khususnya pemuda-pemudi Indonesia dapat berpartisipasi sebagai citizen jurnalism dengan mengirimkan rilis, informasi, berita, artikel, opini atau foto untuk dipublikasikan melalui alamat email Redaksi.

Recent News

Melestarikan Warisan Sejarah: Upaya Menjaga Cagar Budaya di Kabupaten Gowa

Melestarikan Warisan Sejarah: Upaya Menjaga Cagar Budaya di Kabupaten Gowa

25 November 2025 19:17
Berdayakan Kader, TPPKK Tanah Datar Gelar Pelatihan Menjahit Baju

Berdayakan Kader, TPPKK Tanah Datar Gelar Pelatihan Menjahit Baju

23 November 2025 07:17
  • Redaksi
  • Kode Etik

© 2019 mediaharapan.com - By Wahana Muda Indonesia

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video

© 2019 mediaharapan.com - By Wahana Muda Indonesia