MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta-Sudah hampir 20 tahun lamanya terorisme menjadi bagian dari permasalahan serius di negeri ini. Sejak dimulainya era reformasi, kasus demi kasus yang terkait dengan terorisme terus terjadi.
Sebut saja beberapa peristiwa bom mematikan seperti tragedi bom Bali I dan II, bom kedubes Australia, bom Ritz Cartlon-Mariott, bom Thamrin, hingga yang teranyar, bom gereja Surabaya di tahun 2018 silam.
Selain yang telah disebutkan, masih banyak aksi-aksi teror lainnya dengan skala yang lebih kecil, namun tetap berpotensi menebar ancaman yang serius.
Maka dari itu, pemerintah melalui BNPT, institusi resmi milik negara yang fokus pada penanggulangan terorisme dalam negeri, terus berupaya untuk mengembangkan program atau strategi penanggulangan.
Jika di awal pembentukannya BNPT lebih sering mengandalkan pendekatan koersif yang termanifestasikan dalam pengerahan kekuatan bersenjata melalui sebuah unit khusus bernama Densus 88, namun sekarang pemerintah juga sudah mulai menerapkan program penanggulangan non-koersif alias tanpa kekerasan. Sejumlah LSM yang fokus terhadap penanggulangan terorisme juga ikut menyukseskan penanggulangan non-koersif ini.
Program tersebut dikenal dengan nama Countering Violent Extremism (CVE), yang bertujuan untuk memproteksi dan menjauhkan seseorang dari pemikiran radikal agar tidak melakukan tindak terorisme.
Dalam kalimat yang sederhana, CVE merupakan strategi yang digunakan untuk bertempur melawan ide-ide radikal. Sebab, awal mula seseorang melakukan aksi terorisme disebabkan oleh pemikirannya yang sudah teradikalkan.
Sehingga, pertempuran antar ide, seperti toleransi versus intoleransi, moderat versus radikal, kemanusiaan versus agama, atau nasionalisme versus khilafah menjadi landasan mengapa strategi CVE ini diluncurkan. CVE juga berusaha untuk memenangkan hati para teroris, hingga pada akhirnya mereka sadar bahwa radikalisme adalah jalan yang keliru.
CVE terdiri dari tiga fase besar, yaitu pra-radikalisasi, deradikalisasi, dan pasca-radikalisasi. Pra-radikalisasi diperuntukkan bagi seseorang yang belum terpapar radikalisme sama sekali. Fase ini merupakan fase pencegahan melalui penyampaian pesan-pesan perdamaian agar seseorang tidak terjerumus ke dalam pemikiran yang radikal.
Adapaun fase deradikalisasi diperuntukkan bagi seseorang yang sudah terpapar radikalisme, dan dalam beberapa kesempatan, sudah sampai pada tahap melakukan aksi terorisme pula. Fase ini cenderung diperuntukkan bagi para narapidana teroris yang tengah mendekam di penjara.
Deradikalisasi berangkat dari sebuah keyakinan bahwa para narapidana teroris itu dulunya normal seperti masyarakat pada umumnya, lalu menjadi radikal karena suatu hal, namun kemudian tetap memiliki kesempatan untuk bisa kembali normal. Ibaratnya, radikalisme adalah virus yang bisa menjangkit siapa saja, namun tetap bisa disembuhkan.
Sedangkan pasca-radikalisasi adalah fase dimana seorang narapidana teroris yang sudah bersih hati dan pikirannya dari virus radikalisme dibantu untuk dapat berintegrasi kembali ke dalam masyarakat yang normal. Jangan beranggapan bahwa pelaku tindak terorisme itu pasti akan dihukum mati semua.
Mayoritas dari mereka justru kembali mendapat kebebasan setelah menjalani masa tahanan, sama seperti narapidana kasus kriminal lainnya. Namun, mengingat saking brutalnya aksi yang mereka lakukan, sedikit sulit membayangkan publik akan menerima kehadiran mereka begitu saja. Besar kemungkinan mereka akan ditolak dan dikucilkan dari pergaulan, yang justru hal ini menjadi kontra-produktif terhadap upaya deradikalisasi yang sudah mereka terima selama menjadi tahanan.
Meskipun demikian, pemerintah dan sejumlah LSM telah membuktikan bahwa proses reintegrasi para mantan narapidana teroris ke tengah-tengah masyarakat adalah hal yang bisa diterima dan perlu untuk dibantu. Pemerintah misalnya, melalui BNPT, menawarkan program pemberdayaan ekonomi bagi para narapidana teroris yang baru saja keluar dari penjara.
Program disesuaikan dengan minat dan keahlian masing-masing mantan narapidana. Ada yang diberi gerobak untuk berjualan makanan, misalnya, atau diberi mesin jahit untuk berbisnis pakaian, dan lain-lain. Para mantan narapidana juga akan didampingi dan dimonitor selama menjalankan bisnis barunya untuk memastikan mereka melakukannya sesuai dengan harapan. Kesibukan dalam berbisnis diharapkan dapat mengalihkan perhatian mereka dari dorongan untuk kembali ke lingkaran terorisme.
Selain pemerintah, sejumlah LSM juga ikut berkontribusi dalam membantu proses reintegrasi para mantan narapidana ke tengah-tengah masyarakat. Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) mengelola sebuah bisnis rumah makan bernama Dapoer Bistik yang menampung para karyawan berlatar-belakang mantan narapidana teroris.
Berikut Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) yang didirikan oleh mantan teroris sendiri bernama Ali Fauzi. Ia bekerja sama dengan pemerintah untuk menjalankan program CVE, salah satunya menampung para narapidana yang sudah keluar dan menawari mereka untuk berbisnis.
Keberadaan YLP ini menjadi sebuah alternatif, mengingat adanya sebagian mantan narapidana yang ogah dibina oleh BNPT karena alasan trauma dan sebagainya. Sehingga YLP yang notabene didirikan dan dikelola oleh sesama mantan teroris terasa seperti rumah sendiri bagi mereka.
Di daftar LSM berikutnya ada Aliansi Indonesia Damai (AIDA) yang memiliki program yang agak unik dan berbeda. AIDA mempertemukan mantan narapidana teroris dan para korban dalam suatu forum dan meminta mereka untuk menyampaikan pesan perdamaian, anti kekerasan, dan pentingnya saling memaafkan.
Pertemuan itu menjadi pesan bagi masyarakat lainnya bahwa korban saja bisa memaafkan dan menerima pelaku, apalagi masyarakat yang tidak terkena efek langsung. Pertemuan itu juga memiliki makna yang penting bagi mantan narapidana karena menjadi sebuah pengakuan atas eksistensi mereka yang masih diterima oleh masyarakat. Teranyar, BNPT pun telah menerapkan program serupa tahun lalu.
Buah keberhasilan proses reintegrasi mantan narapidana teroris ke tengah-tengah masyarakat dapat diukur dengan angka. Kepala BNPT Suhardi Alius, melalui situs resmi BNPT mengatakan, dari 560 mantan narapidana yang sudah kembali dilepas ke masyarakat, hanya tiga orang yang kembali ke lingkaran terorisme. Data tersebut memunculkan rasa optimisme yang tinggi bahwa program ini akan membantu lebih banyak lagi mantan teroris untuk bisa kembali ke masyarakat dengan kondisi terbebas dari radikalisme.
Progam CVE akan terus berjalan secara berkelanjutan. Selain fokus pada upaya pencegahan agar orang awam tidak terjangkit virus radikalisme, pembinaan terhadap mereka yang sudah teradikalkan tetap menjadi prioritas bersama. Kontribusi dari masyarakat juga dibutuhkan untuk merangkul mereka sekeluarnya dari penjara.
Kita boleh membenci terorisme, tetapi terus-terusan membenci dan menjauhi mereka yang bahkan sudah bertaubat justru bisa semakin memperburuk keadaan. Mantan teroris yang sudah bertaubat, Ali Imron, pernah berkata; Jika pemerintah dan masyarakat enggan merangkul kami, maka teroris yang akan melakukannya.” Sebuah kondisi yang kita harapkan tidak akan terjadi.
Penulis : Faruq Arjuna Hendroy
Editor : Sirajul Fuad Zis