MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Melalui Rapat Paripurna, DPR RI akhirnya menyetujui permintaan pertimbangan permohonan amnesti bagi Baiq Nuril Makmun.
“Baiq Nuril adalah korban kekerasan verbal. Dan apa yang dilakukan Baiq Nuril, dalam pandangan Komisi III adalah upaya melindungi diri dari kekerasan psikologis dan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menyampaikan laporan Komisi III DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Erma menguraikan, Komisi III DPR RI mempertimbangkan tiga unsur penting dalam pemberian amnesti ini, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Ketiga unsur itu harus hadir secara proporsional agar hukum dapat menjadi panglima di Indonesia. Dan khusus amnesti untuk Baiq Nuril, Komisi III DPR RI mempertimbangakan unsur kemanfaatan dan keadilan yang belum terlihat.
Politisi Partai Demokrat ini menegaskan, dalam kasus ini yang sesungguhnya menjadi korban adalah Baiq Nuril, bukan kepala sekolah yang melaporkan dirinya ke penegak hukum, karena alasan menyebarkan informasi yang melanggar kesusilaan di media sosial. Putusan PK MA memang mempersalahkan Baiq Nuril dengan pidana enam tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider tiga bulan kurungan.
“Komisi III DPR RI mengapresiasi dan menghormati keputusan PK MA yang diajukan Baiq Nuril dan menolak PK Baiq Nuril itu. Namun, Komisi III juga mempertimbangkan keadilan masyarakat luas bahwa Baiq Nuril adalah korban yang sebenarnya, bukan pelaku sebagaimana didakwakan Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 45 UU ITE,” ungkap Erma.
Dalam laporannya, Erma juga menyampaikan proses pemberian pertimbangan amnesti di Komisi III DPR RI. Pada 23 Juli, Komisi III DPR RI menggelar rapat internal hingga menghadirkan Baiq Nuril sendiri untuk didengar keterangannya. Bahkan, pada 24 Juli sudah pula menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mendengar keterangan pemerintah terkait persoalan ini. Setelah itu barulah Komisi III DPR RI mengambil keputusan resmi.
Erma mendesak pemerintah agar bersama DPR RI merumuskan RUU yang mengatur amnesti dan abolisi. Sampai saat ini belum ada regulasi yang mengaturnya secara detail. Yang ada adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Grasi dan aturan rehabilitasi yang dimuat dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.