MEDIAHARAPAN.COM, Padang Pariaman – Lembaga independen pemantau hutan Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, ada 82 juta hektar luas daratan Indonesia masih tertutup hutan. Secara tidak langsung, banyak masyarakat Indonesia yang bergantung pada hutan belantara untuk kehidupan mereka. Mulai dari mengumpulkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, hingga bekerja di sektor pengolahan kayu. Sayangnya, pekerjaan tersebut tidak diimbangi dengan upaya pelestarian hutan.
Dalam sebuah penelitian oleh Charles Victor Barber dkk, penebangan liar yang terjadi di Indonesia telah merajalela selama bertahun-tahun. Hal ini diyakini telah menghancurkan sekira 10 juta hektar hutan. Secara rutin kayu hasil hutan diselundupkan melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga, membuat jutaan dolar pendapatan pemerintah Indonesia hilang setiap tahunnya. Data tersebut, terhimpun dalam sebuah buku bertajuk Keadaan Hutan Indonesia.
Jutaan hektar bekas hutan sekarang tertutup sisa-sisa hutan yang telah terdegradasi, semak belukar, dan rumput alang-alang. Dengan hilangnya hutan, Indonesia kehilangan keanekaragaman hayati, pasokan kayu, pendapatan, dan jasa ekosistem.
Menyikapi hal tersebut, pria asal Sumatera, Ritno Kurniawan, membuat perubahan nyata untuk melindungi kawasan hutan Indonesia. Caranya, dengan mengubah para pembalak liar menjadi pemandu wisata di Kawasan Ekowisata Nyarai, Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Rasa Prihatin
Lulus dari Fakultas Pertanian UGM pada 2012 lalu, Ritno memutuskan pulang ke kampung halamannya. Ia mendapati Hutan Gamaran digunduli penduduk setempat. Setiap hari, tak kurang dari 15 hingga 20 balok kayu dari hutan hujan tropis tersebut dihanyutkan ke sungai. Semangatnya muncul setelah ia menyaksikan keindahan air terjun Nyarai.
Air terjun Nyarai mempunyai tinggi delapan meter dan dikelilingi oleh pepohonan rindang serta bebatuan besar. Jika dilihat dari atas, air yang turun dari air terjun seperti dibendung dua batu besar sebelum akhirnya masuk ke dalam kolam dengan air jernih berwarna hijau. Tak sampai situ, ikan yang berenang di kolam berwarna hijau itu juga memperindah pemandangan. Di atas kolam menggelantung ayunan akar pohon yang bisa dijadikan permainan. Melihat keindahan alam tersebut, terbesit di hati Ritno untuk menjadikannya kawasan ekowisata.
“Hati saya miris melihat penebangan liar, apalagi daerah tersebut sangat bagus. Harusnya bisa dikembangkan menjadi tempat wisata.” tutur pemuda berusia 32 tahun ini.
Ia pun mendekati para ketua adat di sana dan menceritakan maksud serta tujuannya. Meskipun tak mudah mengawalinya, Ritno akhirnya diperbolehkan memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat, seperti berdagang, menerima tamu hingga menjadi pemandu wisata.
“Tokoh masyarakat yang berpengaruh itu adalah datuak dan ninik mamak di Gamaran. Saya coba datangi satu-persatu dan saya utarakan niat saya ini untuk mengembangkan lokasi Nyarai sebagai tempat wisata.” katanya.
Pada Agustus 2013, Ritno lalu membentuk Komunitas Lubuk Alung (LA) Adventure. Bersama Komunitas LA Adventure, ia kemudian menjual paket wisata di kawasan Hutan Gamaran. Mulai dari lintas hutan, berburu ikan dengan alat tembak tradisional, hingga menginap di hutan.
Jalan Berliku
Meski telah berhasil membentuk komunitas untuk menjadikan kawasan Hutan Gamaran menjadi ekowisata, perjuangan Ritno tidak berhenti sampai di situ. Pada awal program ini digagas, para ketua adat mencurigai motif Ritno. Belum lagi para pembalak yang takut kehilangan pendapatan. Sebagian kelompok masyarakat bahkan menolak dan mengancam akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan apabila Ritno terus melanjutkan program tersebut.
“Orang yang datang tersebut membawa parang dan tidak terima atas apa yang saya lakukan di sana.” jelas Ritno.
Belum lagi kendala bahasa yang dialami masyarakat setempat. Menurut Ritno, bahasa mereka masih kental dengan bahasa lokal. Hal tersebut membuat Ritno harus ‘ikut terjun’ menjadi pemandu wisata selama satu tahun.
Buah Manis Perjuangan
Setelah mengalami masa-masa terjal itu, objek wisata Air Terjun Nyarai mulai ramai pengunjung. Keindahan alam itu setidaknya dapat menjaring 1.500-2.000 wisatawan setiap bulan. Kini Ritno memimpin 170 pemandu, 80 persennya merupakan mantan pembalak liar.
Lewat Komunitas LA Adventure, warga yang sebelumnya memang sudah memiliki keahlian alam menjelajah hutan sebagai pembalak, akan memandu wisatawan untuk merasakan berbagai kegiatan di alam terbuka. Jika dulunya para pembalak hanya bisa mendapatkan Rp150.000 per minggu, kini sebagai pemandu wisata mereka bisa mendapatkan Rp50.000 – Rp80.000 ribu per hari.
Tak hanya itu, ada 20 orang warga lainnya yang direkrut menjadi pengurus komunitas tersebut. Para pengurus itu bertanggung jawab dalam pengelolaan wisata yang mencakup kebersihan, lingkungan, administrasi, parkir, keamanan, hingga hubungan masyarakat.
Adanya kawasan Hutan Gamaran menjadi ekowisata juga membuat warga sekitar dapat membuka usaha makanan, souvenir, penginapan, hingga biro perjalanan. Ya, program yang digagas Ritno tidak hanya menjaga ekosistem hutan, tetapi juga memberikan pekerjaan baru kepada warga sekitar. Hutan aman, lingkungan terjaga, pendapatan dan ekonomi Lubuk Alung pun berkembang.
Kontribusi Ritno Kurniawan dalam melestarikan hutan dan memberdayakan SDM penduduk setempat mengantarkannya pada apresiasi SATU Indonesia Award 2017 bidang lingkungan. Adanya apresiasi ini juga membuat program yang digagas Ritno semakin diterima oleh masyarakat. Tak hanya itu, pemerintah setempat pun memberikan bantuan untuk program tersebut.
“Saya sangat berterima kasih atas penghargaan SATU Indonesia Awards ini. Berkat penghargaan itu, program saya menjadi inspirasi beberapa pemuda di daerah lain.” tuturnya bangga.
Kegigihan Ritno untuk menjaga dan melestarikan hutan Indonesia harus terus digalakkan. Seiring dengan semangat Sumpah Pemuda, Astra mempersembahkan 11th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020 bagi generasi muda yang tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air. (Cecep Gorbachev)