Oleh: Noor Azhari, Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI).
Skandal korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Nadiem Makarim bukan sekadar kasus hukum biasa. Ini adalah cerminan dari krisis moral yang mendalam di institusi yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai luhur pendidikan.
Menurut penyelidikan Kejaksaan Agung, pengadaan Chromebook yang dilakukan antara 2019 hingga 2023 diduga sarat dengan penyimpangan, termasuk mark-up harga, spesifikasi yang tidak sesuai, dan distribusi yang tidak merata. Beberapa laptop bahkan dilaporkan rusak sejak awal pengiriman. Total anggaran yang terlibat mencapai Rp 9,9 triliun, dengan potensi kerugian negara yang signifikan.
Lebih lanjut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa bantuan kuota internet untuk siswa pada tahun 2021 juga mengalami inefisiensi, dengan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Hal ini menunjukkan pola pengelolaan anggaran yang buruk dan kurangnya akuntabilitas di Kemendikbudristek.
Aspek Hukum: Pelanggaran yang Tak Termaafkan
Tindakan korupsi dalam pengadaan ini jelas melanggar Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Kejaksaan Agung telah memeriksa 28 saksi, termasuk dua staf khusus mantan Menteri Nadiem Makarim, dan menyita berbagai dokumen serta perangkat elektronik yang diduga terkait dengan kasus ini.
Dimensi Moral: Pengkhianatan terhadap Nilai Pendidikan
Pendidikan seharusnya menjadi ladang subur untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Namun, ketika institusi pendidikan justru menjadi sarang korupsi, maka nilai-nilai tersebut hancur lebur.
Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” — di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan. Sayangnya, teladan yang diberikan oleh para pemimpin di Kemendikbudristek justru mencoreng nilai-nilai tersebut.
Pendidikan anti-korupsi yang seharusnya ditanamkan sejak dini menjadi sia-sia ketika para pengelola pendidikan sendiri terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menciptakan siklus buruk yang sulit diputus, di mana generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang menganggap korupsi sebagai hal biasa.
Tindak Tegas Para Pelaku dan Reformasi Total Pengelolaan Pendidikan
Kejaksaan Agung perlu menunjukkan ketegasan dalam menangani kasus ini, tanpa pandang bulu. Siapapun yang terlibat, termasuk pejabat tinggi di Kemendikbudristek, harus dimintai pertanggungjawaban. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan menjadi pelajaran bagi institusi lain.
Kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi total dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan harus diperkuat. Pendidikan anti-korupsi harus diintegrasikan dalam kurikulum dan diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pendidikan.
Menyelamatkan Masa Depan Bangsa
Korupsi dalam sektor pendidikan adalah pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Jika kita tidak segera bertindak, maka kita akan kehilangan generasi yang seharusnya menjadi harapan bangsa.
Sudah saatnya kita mengembalikan moralitas dalam dunia pendidikan dan memastikan bahwa institusi pendidikan benar-benar menjadi tempat yang suci untuk mencetak generasi yang jujur dan berintegritas.