Oleh: Gusrie Efendi
Kedai Parewa, Kayu manis VIII (21/4/17). Lama tak nimbrung dalam diskusi kaum muda, seperti mengingatkan kembali gagasan gerakan yang mulai memudar dan sebenarnya tidak boleh berhenti oleh pragmatis zaman.
Dalam topik usang tapi baru bagi sebagian anak muda yang baru memulai dunia ini; pemberdayaan dalam konteks kekinian menjadi pembicaraan.
Pertanyaan menarik yang bagus untuk kembali ditulis adalah bagaimana mensingkronisasikan modal vertikal dan horizontal yang telah dimiliki.
Setidaknya bagi nasum defenisi modal vertikal ini harusnya adalah modal yang diberikan Allah SWT yang telah dituangkan dalam Al-Quran & Sunnah Rasulullah SAW. Salah satunya adalah kewajiban berzakat, anjuran infak, sedekah & wakaf yang secara syariat. Kedepan ini yang menjadi modal fundrasing murni yang dapat dijadikan sumber utama oleh aktor pemberdayaan disamping peluang dana CSR & sosial lainnya kelak.
Sementara modal horizontal tak lebih dari modal sosial yang dimiliki mulai dari hubungan keluarga, pertemanan, paguyuban, perserikatan dan emosional organisasi massa lainnya.
Sebagian organisasi massa semenjak berdirinya sudah berhasil melakukan sinkronisasi kan hal ini, seperti Muhammadiyah, NU, DDII & lain sejenisnya sehingga mereka mampu berdiri kokoh & berkembang dalam menjalankan misi gerakannya.
Tidak hanya organisasi tua, gerakan berbagai kaum ikhwah yang baru berkembang di era 90an pun sudah membuktikan masifikasi gerakannya dengan menginjeksikan strategi tersebut.
Sementara sebagian seperti PII, HMI & GPII memang harus berani mengevaluasi dan belajar bagaimana merajut potensi yang ada sehingga berhasil mengintegrasikannya dalam organisasinya.
Harus diakui dengan daya kritis sekaligus traumatis massa lalu sikap apologistik akan selalu menjadi halangan gagasan ini. Apalagi terselip berbagai kepentingan yang selama ini sudah mapan dengan jalur politis baik kepentingan pribadi & jejaring yang dimiliki selama berkompetisi dalam organisasinya.
Sangat disayangkan jika hal itu terjadi karena kepentingan organisasi massa Islam hakekatnya bukan untuk kepentingan sekolompok orang namun rahmatan lilalamin, menjadi pewaris para nabi sebagaiman pendakwah lainnya.
Maka dari itu mengorganisir diri untuk merajut berbagai potensi harusnya menjadi jalan “kaffah” dalam menjalankan misi organisasi. Begitulah sinkronisasi dapat diwujudkan, berbagi peran, mengidentifikasi diri, mengatur perbedaan menjadi sumber kekuatan sehingga tidak menjadi kacung dan beban baru bagi ummat yang semakin berat.
Intinya secara vertikal dan horizontal dalam prospektif zakat jika bukan Muzaki sudah pasti Mustahik. Tinggal hanya mencari siapa yang berani mengambil jalan sebagai “Amil” yang bertanggung jawab secara profesional dalam pengelola potensi zakat tersebut.
(Penulis merupakan Senior Staff Akreditasi & Supervisi Organisasi Pengelola Zakat BAZNAS Pusat)