MEDIAHARAPAN.COM, Bengkulu – Menangkap Ikan Sidat menjadi mata pencaharian utama nelayan di Provinsi Bengkulu. Namun, mereka masih menggunakan setrum untuk menangkap ikan, hingga menyebabkan ikan hasil tangkapannya mati. Padahal, wilayah ini merupakan salah satu penghasil ikan sidat terbesar di Indonesia.
Hal ini menjadi rujukan Randi Anoma Putra, Akri Erfianda, dan Rego Damantara. Kelompok pegiat lingkungan yang bergabung dalam Pelopor Penangkapan Ikan Sidat Liar (PPILAR). MEreka merasa perlu mengedukasi nelayan agar tahu tata cara dan penangkapan ikan sidat yang baik dan benar.
Mereka mulai mengajak warga membiasakan menangkap ikan sidat dengan alat tradisional bubu. Pasalnya, terdapat dampak negatif penangkapan ikan menggunakan setrum listrik.
Sosialisasi sejak 2016 tersebut fokus terhadap penangkapan ikan sidat ramah lingkungan. Menggunakan alat tradisional bubu terhadap nelayan Desa Rawa Makmur dan Arga Makmur, Bengkulu. Dengan cara tersebut, ikan sidat tetap hidup sesaat setelah ditangkap. Saat dalam keadaan hidup, ikan sidat dihargai cukup mahal. Mulai dari Rp 45 ribu per kilogram. Nilainya akan naik dua kali lipat dibanding hasil tangkapan ikan sidat mati yang hanya dihargai Rp20 ribu per kilogram.
“Kualitas ikan sidat dengan tangkapan bubu pun lebih baik. Ikan sidat bisa dibesarkan hingga layak konsumsi. “Bahkan, sudah layak ekspor,” kata Randi dan Rego.
Ketika itu sudah 20 nelayan yang bergabung di PPILAR, 15 orang di Kota Bengkulu, di Bengkulu Utara sebanyak 2 orang, dan di Bengkulu Selatan sebanyak 3 orang. Rata-rata, seorang nelayan bisa menangkap 15-25 kg ikan sidat per minggu.
Atas usaha kampanye keduanya, penangkapan ikan sidat ramah lingkungan, PPILAR (Pelopor Penangkapan Ikan Sidat Liar) menerima penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017 dalam kategori kelompok bidang lingkungan. (Bunga DA)











