MEDIAHARAPAN.COM, Sumbawa—Keberadaan Samawa Technopark yang merupakan satu-satunya Science And Technopark (STP) di Pulau Sumbawa dan Propinsi Nusa Tenggara Barat secara umum, bagi Universitas Samawa (UNSA) dianggap proses pendiriannya tidak prosedural.
Meski secara kebijakan, UNSA menyetujui adanya STP di Kabupaten Sumbawa untuk menjadi inkubasi bisnis bagi masyarakat dan kalangan akademisi. UNSA mengkritisi keberadaan UNSA berangkat dari kecintaan terhadap Kabupaten Sumbawa. Berangkat dari kegilasahan itu UNSA pernah melakukan rapat dengar pendapat dengan Pemda Sumbawa maupun DPRD Sumbawa.
Bahkan UNSA turun jalan karena menganggap pemerintah tertutup dalam menentukan kebijakan padahal upaya tersebu tidak perlu dilakukan.
“Aksi turun jalan itu mencoba menanyakan kepada orang tua kita bagaimana kebijakan pemerintah dan bagaimana model pembangunan STP jaman itu. Ternyata hearing dan aksi tersebut menjalani jalan buntu dan tidak ada kejelasan bagaimana model pembangunannya, maupun model tata kelolanya,” terang Dekan Fakultas Hukum UNSA, DR. Lahmuddin Zuhri, SH.,M.Hum, ketika jumpa pers di ruang Rektor UNSA, Rabu (08/03/2017).
Mengenai tata kelola jelas Lahmuddin, apakah model tata kelolanya sudah masuk dalam RPJM Sumbawa atau tidak dan hal itu tidak terjawab. Kegelisahan itu berlanjut hingga keluarnya surat Wakil Bupati Sumbawa dan peresmian STP tersebut.
Menurut Lahmuddin, pihaknya terkaget-kaget dengan adanya hal itu seolah-olah apa yang disampaikan pihak UNSA di era Bupati Sumbawa terdahulu maupun Bupati sekarang. Sehingga UNSA menilai ada orang-orang tertentu yang menafikan aspirasi tersebut. Hal itu pun semakin menjadi menarik bagi UNSA sebagai kalangan akademisi.
Tuntutan pihaknya sambung Lahmuddin yang menginginkan adanya keadilan, kejelasan, keberimbangan untuk ikut aktif dan bermitra strategis dalam mengisii dan mengelola STP tersebut. Ternyata harapan itu tidak terwujud dan menjadi kegelisahan lagi.
Kemudian pihak UNSA papar Lahmnuddin mendatangi Ketua DPRD Sumbawa, Selasa (07/03/017), ternyata Ketua DPRD Sumbawa, Lalu Budi Suryata, dalam forum itu tidak mengetahui mengenai STP.
“Lagi-lagi ini mengenai kebijakan daerah Sumbawa. Ada hal-hal tertentu yang kemudian tidak sempat terkomunikasikan dengan bagus antara pengelola STP dan pemerintah Sumbawa secara politiknya,” tandas Dosen Fakultas Hukum UNSA tersebut.
Lahmuddin memaparkan, ada beberapa hal yang janggal dalam pembangunan STP ini. Karena STP dihajatkan untuk pembangunan Kabupaten Sumbawa, bagaimana mensejahterakan, mempercepat laju perekonomian masyarakat Sumbawa. Ternyata terkesan sangat tertutup dan pemerintah daerah tidak mampu memberikan penjelasan terkait hal itu.
Kegelisahan itu sambungnya dipertajam lagi dengan statemen Dekan Fisip UNSA tentang mekanismenya dan hal itu tidak terjawab. Sampai pada aplikasi pelaksanaan, tata kelola, perumusan ijin dan AMDALnya juga tidak terjawab.
“Artinya kegelisahan-kegelisahan ini menjadi kegelisahan masyarakat Sumbawa. Kami selaku masyarakat Sumbawa ingin keterbukaan tentang tata kelola pembangunan dan konsep tata kelola STP ke depan karena merupakan anggaran APBD maupun APBN. STP dihajatkan untuk semua masyarakat Sumbawa,” paparnya.
Dekan FISIP UNSA, M. Shalahuddin, M.Si., menambahkan, hasil pembicaraan dengan antara pihak UNSA dengan Ketua DPRD Sumbawa, Lalu Budi Suryata dan Sekda Sumbawa, Rasyidi, di tempat dan waktu yang berbeda, terkesan ada upaya untuk cari aman dan cuci tangan dalam proses pembangunan STP. Baik DPR Sumbawa maupun pemda Sumbawa tidak tahu menahu tentang hal ini. Bagaimana mungkin sebuah program yang dihajatkan untuk pembangunan masyarakat Sumbawa dan kesejahteraan ekonomi maupun mekanisme pengadaan lahan dan lain sebagainya tidak dipahami.
“Padahal itu peluang. Persyaratan yang dihajatkan untuk STP adalah harus dikelola oleh Pemda Sumbawa. Semua lahan STP adalah milik Pemda Sumbawa, tapi ada jawaban kepada kami bahwa sertifikat lahan dihibahkan kepada UTS oleh Pemda Sumbawa. Berarti secara logika paling sederhana, kalau bukan Pemda berarti ini tidak bisa jalan karena persyaratan lahan dari Pemda Sumbawa,” jelasnya.
Kemudian sambung Shalahuddin, jika benar lahan itu diserahkan ke UTS maka ada kesan menghindar dan ini program apa, pemerintah daerah juga tidak mempunyai rencana jelas dan mau diapakan.
Menurutnya, jika melihat persyaratan yang harus dipenuhi sangat ketat termasuk dalam rangka menentukan lokasi STP akan dibangun. Bahkan disinggung ketika Sekjen Kemenristek Dikti menyatakan STP tidak boleh diekslufiskan untuk kelompok tertentu dan dikelola oleh pemerintah daerah.
Hal-hal seperti inilah tandasnya, menjadi pertanyaan UNSA kenapa kok bisa terjadi seperti itu, apa iya Pemda benar-benar tidak tahu menahu dan tidak mau mengambil resiko. Jika dibiarkan jalan saja yang penting datang membawa uang kan akan rusak tatanan pemerintahan.
Dekan FKIP UNSA, DR. Muhammad Iksan, M.Pd., menambahkan, bahwa sebenarnya STP merupakan inisiasi daerah dan ketika inisiasi pemerintah daerah maka tentu menjadi hak milik pemerintah daerah melalui Kemenristek Dikti.
“Ternyata STP ini dinisiasi oleh lembaga pendidikan tinggi tertentu yang hajatannya milik daerah, tapi secara nyata ternyata sertifikat tanah tersebut bukan milik daerah. Ketika STP ini nantinya mangkrak maka akan menjadi milik oknum-oknum terntentu,” ujar Iksan.
Iksan mengatakan bahwa menyangkut hajatan pemerintah pusat melalui pemerintah daerah sebagai tugas makro untuk menyusun rencana tehnis, tapi kenyataannya pada 2 Maret telah terjadi peresmian yang juga telah terbentuk struktur STP dipimpin oleh DR. Arif Budi Witarto. Pertanyaan secara langsung kenapa harus DR. Arif? Seharusnya Bappeda selaku pengelola dan perencana makro.
Ia menambahkan, sebelum STP dibangun harusnya pemerintah daerah membangun komunikasi dengan para stake holder. Apakah nanti hanya milik pihak tertentu atau masyarakat Sumbawa.
“Kami ingin mempertanyakan kembali keberadaan STP ini sampai ke tingkat pusat kok bisa seperti ini,” ujarnya.
UNSA mengingatkan agar STP dibangun berdasarkan RPJM yang jelas di Kabupaten Sumbawa. Analisis mengenai dampak lingkungan harus diperhatikan. Hibah lahan harus diseriusi bukan hanya hibah administrasi saja karena akan berdampak hukum. Kemudian badan hukum pengelola, dalam hal ini pemerintah daerah perlu ada ketegasan. Terakhir Bupati dalam hal ini pemerintah daerah harus intens dan aktif dalam pendirian tehnis STP, kalau tidak diperhatikan secara serius maka STP tidak akan maksimal bahkan akan merugikan keuangan daerah dan keuangan negara.
Tolak Lokasi STP di Olat Maras
Dekan Fakultas FISIP UNSA, M. Shalahuddin, M.Si., menegaskan bahwa pihaknya tetap tidak mau menerima STP jika keberadannya tetap di Olat Maras. Karena dulu UNSA pernah menawarkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan lahan yang dulunya dipersiapkan untuk pembangunan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Labuhan Badas.
Tidak hanya itu, Pakar Politik di UNSA, Lukmanul Hakim, menuding adanya prosedur yang salah dalam pendirian STP dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya.
“Sebagai pihak Universitas mengatakan bahwa keberadaan STP kami sangat mendukung jangan tidak prosedural dan sim salabim tiba-tiba ada, tanpa melibatkan Universitas lain dalam proses pendiriannya,”ujar Lukman.
Akan Ada Langkah Berikut Untuk Hal-hal yang Tidak Prosedural
Menurut Dekan FISIP UNSA, M. Shalahuddin, bahwa mengenai hal-hal yang sifatnya tidak prosedural akan ada upaya dari pihaknya untuk menempuh langkah selanjutnya.
“Di sisi lain ketika kita komunikasi secara informal dengan pemerintah daerah selalu jawabannya kami tidak tahu menahu tentang itu tiba-tiba begini. Apalagi ada informasi sekarang bahwa pemda mendukung, berarti pemda kong kalikong. Kami tangkap justeru itu,” tandasnya.
“Di satu sisi diberi tahu tidak tahu menahu tiba-tiba diminta tenaga ahli, di sisi lain sudah ada langkah berikutnya dari Pemda. Ini ada apa?” tanya Shalahuddin.
Dalam hal ini Civitas Akademika UNSA menolak untuk terlibat di dalam STP karena beberapa permasalahan yang dipaparkan tersebut. Malah UNSA berencana akan membangun Inkubasi Bisnis tersendiri di luar STP. Meski nantinya UNSA diajak untuk terlibat memanfaatkan keberadaan STP ke depan. (Hermansyah Idris).