MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta-Pemilihan Daerah (Pilkada) di berbagai daerah akan segera digelar, calon pemilih pemimpinnya akan lebih dipertimbangkan siapa yang layak untuk dipilih, peneliti Senior Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin mengatakan, pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta rakyat tidak pilih calon berperkara hukum maka jelas arahnya yang banyak dibaca publik adalah ke terdakwa penista agama yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Apalagi Ahok yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta kembali pasca cuti kampanye melilit banyak kasus korupsi di Pemprov DKI Jakarta yang hingga kini belum dihentikan. Diantara kasus hukum yang menjerat Ahok adalah RS Sumber Waras, pembelian tanah fiktif di Cengkareng, dan SK Bodong di kasus reklamasi Teluk Jakarta.
Terpisah praktisi hukum konstitusi (Legal/Constitution Expert), Victor Santoso Tandiasa, SH., M.H mengatakan, harusnya KPK sudah harus mulai menjaga untuk tidak berpolitik. Karena pendapat KPK dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih ataupun tidak memilih calon tertentu.
KPK juga harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah sebelum ada putusan hukum (inkracht). Karena dalam pilkada seringkali hukum dijadikan alat politik untik menjatuhkan calon yang menjadi lawan calon incumbent maupun sebaliknya. Oleh karenanya ada telegram Kapolri yang meminta agar kasus hukum yang muncul terhadap calon kepala daerah harus ditunda hingga selesai pelaksanaan pilkada. Hal ini dilakukan agar hukum tidak dijadikan alat politik.
“Namun dalam kasus Ahok aturan itu dikesampingkan oleh Kapolri Tito Karnavian demi menjaga stabilitas politik karena besarnya arus desakan agar Ahok diproses hukum,” secara Undang Undang Ahok harus dinonaktifkan,akan tetapa Menteri Dalam Negeri belum mengeluarkan surat keputusan pemberhentian. (Bams)