Oleh: Fuad Bawazier
Kementerian Keuangan mencoret JP Morgan (JPM) dari daftar mitra kerjanya efektip sejak Januari 2017. Pemicunya adalah hasil riset JPM tentang Indonesia yang dinilai tidak kredibel dan berpotensi merugikan perekonomian Indonesia. Persisnya hasil riset JPM tentang ekuitas di global emerging market Nopember 2016 yg sekaligus menurunkan Indonesia 2 (dua) peringkat dari overweight ke underweight. Dengan penurunan 2 (dua) peringkat ini dikhawatirkan Surat Utang Indonesia menjadi tidak menarik bagi investor khususnya investor asing portofolio.
Selain itu, dg peringkat underweight berarti Indonesia harus menaikkan suku bunganya agar Surat Utangnya bisa laku dijual. Berarti akan semakin membebani APBN. Tentu saja membuat Kemenkeu “murka” dan layak menduga bhw ada udang dibalik batu, yaitu agar investor asing bisa memperoleh return yg lebih tinggi lagi dari investasinya pada Surat Utang Indonesia.
Padahal sejak beberapa tahun terakhir ini dan lebih lebih th 2017 dan tahun tahun selanjutnya diperkirakan pemerintah Indonesia akan sangat bergantung pada dana utang sehingga riset JPM dinilai mengganggu program pendanaan infrastruktur pemerintah dan APBN 2017.
Sebetulnya riset JPM ini bersifat global dan jangka pendek serta menurunkan tidak saja peringkat Indonesia tetapi juga ekuitas dibanyak negara lain seperti Brazil dan Turki, sementara Malaysia naik peringkat. Singkatnya, riset JPM yg berjudul Trump Forces Tactical Changes ini dinilai Menkeu Sri Mulyani dan jajarannya sbg tidak kredibel dan berpotensi merugikan Indonesia. Belum kedengaran reaksi marah ataupun pujian dari negara lain atas hasil riset JPM ini.
Begitu marah atau kecewanya Kemenkeu thdp JPM dpt dilihat dari scope pembatalan kerjasamanya yg meliputi pencabutan JPM sbg penjual utama Surat Utang Negara, sbg peserta lelang Surat Berharga Syariah Negara, sbg penjamin penerbitan obligasi global RI, dan pencabutan sbg bank persepsi (penerimaan) uang tebusan pengampunan pajak.
Tidak sedikit komentar yg berbeda beda atas hasil riset JPM maupun reaksi keras Menkeu. Secara umum sikap Menkeu SMI mendapat dukungan luas publik. Meski demikian, Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi & Bisnis UI cenderung mengamini hasil riset JPM bhw terpilihnya Trump berpotensi memberikan dampak negatip terhadap nilai tukar rupiah maupun pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebelumnya Lembaga UI ini juga sudah memberikan warningnya kepada pemerintah Indonesia melalui Economic Outlooknya kedepan. Bedanya, JPM mempunyai “otoritas” menurunkan peringkat Indonesia yang dinilai oleh Kemenkeu seenaknya sendiri tanpa alasan2 yg kuat dan detail. Sementara itu Ketua BKPM Thomas Lembong menghargai independensi hasil riset JPM itu dan mengingatkan bhw hasil riset itu bersifat jangka pendek.
Pertanyaannya adalah kenapa riset JPM yg sebenarnya rutin itu, kali ini menimbulkan kehebohan di Indonesia? Dalam pandangan saya karena terdapat understanding gap yg melatar belakangi reaksi keras Menkeu itu.
Pertama, selama ini pemerintah menganggap JPM sbg partner “mesra dan setia” yg seharusnya membela Indonesia. Dilain pihak, JPM melihat dirinya sendiri dari 2 (dua) sisi yaitu sebuah lembaga riset yg profesional dan independen sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi bagi calon investor internasional. Selain itu, JPM sendiri dpt dilihat sbg lembaga bisnis yg selalu mencari peluang mendapatkan keuntungan, yg bukan tidak mungkin dg menghalalkan segala cara. Misalnya, bermain utk menjatuhkan harga Surat Berharga di pasar, memborongnya, lalu menjualnya lagi setelah harga membaik (yg bisa jadi juga hasil rekayasa pasar).
Kedua, Menkeu menilai bhw prestasi ekonomi Indonesia selama 2016 cukup bagus. Inflasi hanya 3%, kurs rupiah sedikit menguat atau lebih baik dari asumsi di APBN 2016 yg Rp13500, defisit transaksi berjalan masih dibawah 2% dan pertumbuhan ekonomi 5%. Dengan beberapa catatan prestasi tsb, kenapa rating Indonesia sbg negara tujuan investasi diturunkan sekaligus 2 peringkat.
Inilah yg dinilai Kemenkeu bhw riset JPM Nop 2016 sbg tidak kredibel dan tidak fair. Sementara itu, pemerintah menyadari betul bhw utang valas negara cukup besar dan bagian kepemilikan asing atas Surat Utang Pemerintah per 31 Des 2016 telah mencapai Rp 665T,- suatu jumlah yg cukup besar bila dibandingkan dg kemampuan likuiditas APBN, bukan sekedar rasio utang thdp PDB. Tentu saja pemerintah mengkhawatirkan bila para investor asing itu lari gara gara hasil riset JPM. Arus balik modal seperti itu, -bila terjadi,- bisa seketika menjungkalkan kurs rupiah thdp valas. Dilain pihak, JPM mengarahkan hasil risetnya bukan thdp th 2016 (masa lalu) tetapi sbg rekomendasi investasi utk tahun 2017 (masa depan).
JPM melihat potensi ancaman terhadapa ekonomi Indonesia di th 2017, sementara Menkeu melihat prestasi ekonomi Indonesia tahun 2016. JPM melihat Indonesia akan sangat memerlukan suntikan cash utk menolong APBNnya yg dlm 10 th terakhir ini realisasi penerimaan pajaknya jauh dibawah target. Bahkan utk th 2016 yg lalu shortfall penerimaan perpajakannya mencapai Rp256T. Bisa jadi JPM mempertimbangkan shortfall penerimaan pajak yg berkepanjangan,- sementara defisit APBN sudah di tetapkan dlm undang undang maksimum 3% PDB,- bisa mengakibatkan pemerintah mengalami kesulitan atau gagal bayar atas utang utangnya yg jatuh tempo.
Disini JPM bertindak sbg advisor yg ingin melindungi atau menjaga investor dari risiko kerugian. Bukankah sekarang ini utang lama yg jatuh tempo sebagian dibayar dg utang baru; bahkan bunga atas utang lama itu dibayar dg utang baru atau yg biasa di sebut dg defisit keseimbangan primer APBN. Artinya utang utang baru yg diciptakan pemerintah semakin tidak produktip. Selain itu, JPM juga mempertimbangkan ancaman kenaikan suku bunga dolar oleh The Fed dlm th 2017 yg bisa berdampak pd turunnya kurs rupiah akibat capital outflow.
Ketiga, sebetulnya JPM melakukan risetnya secara rutin dan hasilnya mengenai Indonesia juga naik- turun. Dlm bulan Maret 2016 JPM justru menaikkan rating Indonesia dari netral (sesuai ekspektasi) menjadi overweight (return diatas ekspektasi) karena melihat kedepannya Indonesia akan diuntungkan oleh perkembangan di emerging market dan turunnya suku bunga bank sehingga earning per share akan naik. Tetapi pd bulan April 2016 JPM merekomendasikan underweight (return dibawah ekspektasi) utk investasi di sektor perbankan di Indonesia sehingga harga saham perbankan di BEI pd awal awal April 2016 turun cukup drastis.
Atas kedua hasil riset diatas pemerintah tidak bereaksi seperti halnya atas riset JPM Nop 2016. Memang dlm alam kebebasan seperti sekarang ini, para pembaca riset, survey, opini dll perlu cerdas dan kritis karena pemelintiran atau penyulapan biasa terjadi. Misalnya tulisan David Tweed 29 Des 2016 di Bloomberg yg hanya mengulas singkat dan ringan perubahan kurs dan pertumbuhan ekonomi di 8 negara Asia dlm th 2016 bisa tiba tiba dimunculkan menjadi berita Jokowi pemimpin terbaik se Asia dan Australia. Hal yg sama sering dinikmati para ekonom pejabat tinggi di Indonesia yg tanpa kejelasan asal usul dan juntrungannya tiba tiba di nobatkan dg predikat2 “ini-itu” terbaik se Asia atau Asean dll. Praktek2 seperti ini biasanya tidak gratis dan sbg bagian dari “take n give” pemerintah dg pasar atau pelaku pasar. Dan ini bisa terjadi bila penguasa terlalu dekat atau mesra dg pelaku pasar. Dilain pihak, bila tiba tiba terjadi kesalah pahaman atau benturan kepentingan, bisa menimbulkan luka yg mendalam. Jadi kata kuncinya adalah kedua belah pihak harus selalu menjaga jarak yg pas, tidak terlalu dekat atau mesra, agar tidak mudah selingkuh.
Kesimpulannya adalah telah terjadi understanding gap antara Kemenkeu dan JPM sebab yang pertama lebih menitik beratkan pada keadaan masa lalu dan hari ini (prestasi), sedangkan yg kedua (JPM) lebih menitik beratkan pada masa depan utk tujuan investasi. Kemenkeu yg selama ini nampaknya merasa telah menjalin hubungan mesra dg JPM sbg partner, tiba tiba merasa di khianati justru di saat saat yg sulit khususnya dlm hal rencana penerbitan surat utang negara.
Kemenkeu “gagal” melihat bhw JPM selama ini sebenarnya telah menjalankan dwifungsi sbg researcher sekaligus pemain di pasar modal. Saya rasa, selama ini keduanya lupa menjaga jarak yg pas. Kini kemesraan itu telah berlalu. Saran sy, pemerintah hrs tetap berbuat yg terbaik dan tdk lagi mengandalkan “propaganda” pelaku pasar.
Oleh: Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan)
6 Januari 2017.