MEDIAHARAPAN.COM Jakarta – Beberapa tahun terakhir Direksi Pertamina sangat aktif mempromosikan rencana pengembangan korporasi sebagai perusahaan energi kelas dunia yang sebanding atau tumbuh lebih besar dibanding Petronas dalam 6-8 tahun ke depan.
Rencana tersebut diharapkan antara lain dapat terwujud jika Pertamina menjadi kustodian cadangan migas nasional, mengoperasikan lapangan-lapangan migas yang kontraknya habis, memperluas opersasi ke luar negeri, dsb. Di sektor hilir, adalah menjadikan Pertamina sebagai badan penyangga cadangan strategis, mengkoordinasikan impor, meningkatkan kapasitas dan membangun kilang baru dan membangun infrastruktur strategis lainnya.
Dalam perjalanannya, rencana ideal dan sangat patut didukung tersebut, terutama karena akan menjamin semakin meningkatnya ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi nasional, belakangan ini tampaknya tersendat. Rencana menjadi kustodian migas nasional tidak lagi “berani” dipromosikan oleh manajemen dan belum terdengar pula dibahas oleh DPR dan pemerintah dalam pembentukan UU Migas baru.
Rencana peningkatan kapasitas dan pembangunan kilang minyak baru tampaknya mundur atau terganggu oleh berbagai kepentingan, terutama karena besarnya dana yang akan digunakan dalam proyek-proyek tersebut. Berbagai rencana strategis lainpun seakan ikut tersendat.
Terlepas dari rencana pengembangan yang tersendat di atas, dalam 2 tahun terakhir, kinerja Pertamina dapat dinilai cukup bagus, terutama jika dilihat dari besarnya efisiensi yang dicapai, keuntungan yang diperoleh, inovasi-inovasi produk yang dihasilkan dan berbagai penghargaan yang diraih oleh manajemen Pertamina dengan berbagai pencapaian tersebut.
Ditengah situasi harga minyak yang turun dan menyebabkan kinerja mayoritas perusahan minyak dunia juga menurun, Pertamina bisa tampil dengan kinerja yang justru lebih baik. Dalam hal ini apresiasi pantas diberikan kepada manajemen.
Namun apa, raihan berbagai prestasi dan penghargaan tersebut bukan jaminan bagi manajemen aman dari pelengseran.
Ternyata kaidah umum dunia bisnis atas para inovator dan peraih prestasi yang selalu mendapat reward, tidak berlaku bagi manajemen Pertamina. Jangankan mendapat6 reward atau sekedar dipertahankan pada posisinya, Dirut dan Wakil Dirut Pertamina yang berprestasi tersebut justru dilengserkan!
Kementerian BUMN sebagai pengendali dan penentu kebijakan serta pemegang hak pengangkatan seluruh pejabat BUMN justru melakukan langkah anomali, dan melengserkan kedua pejabat Pertamina tersebut pada awal Februari 2017.
Kementerian BUMN telah mengungkap berbagai alasan pelengseran yang umumnya tidak logis dan sulit diterima akal dan logika publik. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan sedih (??) atas pelengseseran kedua pejabat tersebut. Tapi, apapun itu, kita telah menyaksikan langkah kesewenang-wenangan yang ditunjukkan oleh Kementerian BUMN dalam menjalankan fungsinya terhadap Pertamina berdasarkan motif yang sangat pantas dicurigai.
Salah satu motif tersebut adalah kepentingan kelompok, oknum penguasa dan pengusaha tertentu agar dapat mengendalikan dan memperoleh berbagai kesempatan bisnis Pertamina guna memperoleh rente.
Motif dibalik penempatan pejabat dan komisaris Pertamina, sejak sebelum reformasi hingga sekarang, tampaknya masih sama.
Pertamina adalah lahan yang sangat potensial bagi pihak-pihak yang memegang kekuasaan untuk memperoleh rente bernilai BESAR dalam waktu singkat. Karena itu, manajemen Pertamina harus dipilih sedemikian rupa agar dapat “bekerjasama” dengan penguasa, terserah apakah penunjukan manajemen tersebut berlangsung lebih cepat dari jadwal yang berlaku di dunia bisnis. Toh beribu-ribu alasan pergantian dapat diungkap ke publik untuk menjustifikasi.
Faktanya dalam 19 tahun (sejak 1998) Dirut Pertamina telah berganti sebanyak 9 kali! Dalam hal ini, salah satu aksioma yang perlu dicamkan publik adalah: pergantian pemerintahan pasti diiringi oleh pergantian direksi BUMN, terutama Pertamina yang potensi rentenya sangat BESAR. Beberapa ungkapan yang sering diobral penguasa saat menetapkan pejabat baru adalah keingi. (Bams)